Sabtu, 29 Januari 2011

Pertanian Indonesia : Barang Mewah yang Terancam Tidak Bertuan

Sebuah statement menyatakan bahwa Indonesia akan terus menjadi negara berkembang alias tidak pernah maju jika masih menjadi negara agraris. Pernyataan tersebut seolah memicu reaksi dari berbagai kalangan. Ada yang mengiyakan dengan serta merta, ada yang menepisnya secara spontanitas, dan ada yang skeptis namun hanya acuh mendengarnya, seolah tidak inigin memikirkan ke arah mana sebenarnya negeri ini harus di bawa. Pernyataan di atas pula yang menjadi momok bagi pelajar Indonesia. Mereka sudah tidak meyakini apakah dunia pertanian masih menjanjikan kesuksesan bagi masa depan mereka. Hal ini dibuktikan dengan menurunnya jumlah peminat universitas dan fakultas pertanian dari tahun ke tahun. Menurut Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Ir Yonni Koesmaryono* penurunan terjadi pada kisaran 30-40 % dibanding tahun lalu. Soal penyebabnya, Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof Dr Dasron Hamid* berpendapat, antara lain, karena kondisi pertanian di Indonesia yang memprihatinkan, pelaku usaha dan universitas yang kurang berpromosi, sehingga calon mahasiswa tidak terpikat, serta nama fakultas yang kurang adaptif. Keengganan calon mahasiswa memilih jurusan pertanian terkait erat dengan kebijakan pemerintah yang tak berkiblat ke pertanian.

Selain karena makin menyempitnya kesempatan kerja di bidang pertanian, kondisi pertanian di Indonesia memang memprihatinkan. Penurunan minat calon mahasiswa ke fakultas pertanian juga disebabkan bayang-bayang kelabu masa depan pertanian Indonesia. Jika kondisi seperti ini terus berlanjut maka pertanian akan kekurangan SDM yang berkompeten dan estafet pembangunan pertanian akan terputus. Hal ini merupakan ancaman serius bagi eksistensi Indonesia di kemudian hari.

"Memang ada yang berasumsi bahwa sarjana pertanian akhirnya harus berhadapan dengan cangkul dan lumpur. Ini juga cukup mencemaskan dan selama teknologi pertanian tidak mendapat tempat di negeri ini, niscaya jurusan-jurusan pertanian akan terus menyusut," tambahnya. Kondisi petani di Indonesia yang jauh dari berkecukupan dan sarat dengan kehidupan yang sulit dianggap menjadi potret masa depan para pelajar yang melanjutkan studinya ke bidang pertanian. Sebagian pengamat berpendapat bahwa turunnya minat tersebut dikarenakan faktor nama rumpun fakultas pertanian yang harus disesuaikan dengan kondisi saat ini. Paling tidak diganti dengan nama yang keren. Contohnya seperti yang terjadi di Universitas Gajah Mada yang fakultas pertaniannya membuka tiga program studi yaitu teknik pertanian, teknologi industri pertanian, serta teknologi pangan dan hasil pertanian, tidak pernah sepi peminat. Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Prof Dr Hidayat Syarief* menilai, penyebab rendahnya minat mahasiswa ke pertanian, karena ada penilaian bahwa prospek pertanian akan makin rendah. Karena itu, lanjutnya, sebaiknya PTN dan Ditjen Dikti harus merestrukturisasi program studi di fakultas-fakultas pertanian agar tetap menarik.

Kemajuan zaman dan teknologi dianggap sebagian masyarakat akan menggeser kedudukan pertanian bagi kehidupan. Namun, ibarat melupakan gajah karena ada tikus, masyarakat awam seakan lupa bahwa segala macam produk yang ia makan, apapun itu adalah hasil dari rekayasa pertanian. Jika dirunut, akar permasalahannya adalah masyarakat masih memandang pertanian secara sempit dan tradisional. Padahal, semakin berkembangnya zaman, pertanian pun akan semakin maju karena ditopang oleh teknologi yang semakin mutakhir. Pertanian modern mengutamakan edit values untuk memberikan nilai lebih kepada produk yang dipasarkan pertanian modern merupakan pertanian yang menerapkan sistemnya secara sistematis, terukur, berteknologi canggih, dan berkualitas dari hulu ke hilir. Sehingga output yang dihasilkan bisa bersaing di tingkat Internasional. Inilah bentuk pertanian modern yang sebenarnya. Tentu saja image-nya sangat berbeda dari apa yang dipersepsikan masyarakat awam.

Betapa pentingnya pangan terhadap eksistensi sebuah bangsa. Sebuah Negara yang sudah mandiri dalam hal pangan tentu lebih mudah berkonsentrasi kepada sektor lain untuk membangun negerinya. Tetapi apa jadinya dengan sebuah negara yang masih kesulitan untuk makan? Jangankan berfikir untuk menstabilkan ekonomi, pendidikan, dan yang lainnya, untuk memenuhi sejengkal perut rakyatnya saja negeri itu masih kesulitan. Sungguh ironis jika ternyata negeri yang kaya akan sumber daya alam, masih mengimpor bahan makanan yang tumbuh subur di negerinya. Jadi, disini pangan telah memainkan peran sebagai suatu aspek yang mendasar terhadap ketahanan suatu negara. Menurut Agus Pakpahan** apabila kedaulatan pangan identik dengan kedaulatan negara, maka jelas bahwa pangan menjadi permasalahan negara. Selama ini kita hanya menyadari bahwa kedaulatan negara merupakan bahasan pokok dari ketahanan negara yang dipandang dari segi militer. Hal ini sangatlah keliru, pasukan tentara yang kuat pun tidak akan bertahan lama di medan perang jika tidak didukung dengan kondisi logistik yang memadai.

NKRI adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dan 65 % wilayahnya terdiri atas perairan dengan areal yang sebagian besar sangat subur. Panjang pantai Indonesia adalah yang terpanjang di dunia. Keanekaragaman hayati Indonesia adalah yang paling bervariasi di dunia, panjang siang dan malamnya seimbang, curah hujannya tinggi, dan lokasi Indonesia yang dilalui oleh garis khatulistiwa menyebabkan Indonesia memiliki iklim yang baik dan penyinaran matahari yang cukup. Kekayaan ini yang merupakan modal utama sektor pertanian. Tentu jika pemerintah berkonsentrasi untuk mengeksplorasi sektor ini secara bijaksana, tentu kesejahteraan akan tercipta. Yang menjadi pertanyaan adalah, dengan potensi alam yang sedemikian besar apakah Indonesia telah menjadi negera yang pangannya telah mandiri dan menjadi produsen pangan utama dunia? Berikut adalah data yang menjelaskan betapa besar impor Indonesia terhadap pangan yang bisa tumbuh subur di negeri ini. (klik pada gambar untuk memperjelas)














(Sumber : Departemen Pertanian Republik Indonesia dalam http://web.ipb.ac.id/~tpb/tpb/files/materi/pip/Kuliah 14.pdf)

Koran kampus IPB*** juga pernah memberitakan bahwa sekitar tahun 1984 Indonesia pernah dicap sebagai negara yang swasembada beras. Saat ini, predikat tersebut tersebut berubah menjadi pengimpor beras terbesar di dunia dengan nilai impor yang lebih dari 2 juta ton per tahun. Stok pangan yang ada di Indonesia tentu tidak terlepasa dari stok pangan dunia. Ketika kita berjalan-jalan di supermarket, kita dengan mudah menemukan beras vietnam, apel fuji, jeruk mandarin, durian bangkok, daging australia, timun jepang, dan puluhan produk-produk pangan olahan dari berbagai negara. Hanya sedikit produk pangan lokal yang nampaknya bisa dijual di pasar modern tersebut. Padahal negeri zamrud khatulistiwa ini adalah negeri agraris dengan lahan pertanian yang subur. Menurut data yang diperoleh, kita adalah importir terbesar kedelai (68,5% dari kebutuhan nasional, jagung sekitar 25%, garam 50% dan yang paling parah adalah gandum/terigu yakni 100% dari kebutuhan nasional kita, dan impor tersebut berasal dari AS. Sebagai produsen mie terbesar di dunia, tentu akan sanagt terpengaruh oleh adanya kenaiakan harga gandum, pun terjadi pada produsen roti dan makanan laian yang berasala dari bahan baku gandum.

Dapat dibayangkan betapa ruginya negara ini, mengeluarkan biaya yang begitu besar hanya untuk membeli bahan makanan yang sebenarnya bisa kita hasilkan dari bumi Indonesia yang kaya dan subur ini. Masalah kemandirian pangan sangatlah ditentukan oleh sektor pertanian. Pertanian merupakan motor penggerak terciptanya sebuah kemandirian pangan. Dan ini semua hanya akan terwujud jika pertanian kita dikelola oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Kita tidak perlu melihat negara-negara yang sekarang memang sudah maju yang lebih mengutamakan liberalisasi ekonomi dan industri dan mencontohnya dalam segala hal. Namun, untuk kemajuan bangsa ini kita harus menyesuaikannya dengan kondisi Negara kita, baik alam maupun budayanya yang tidak selalu sama dengan negara lain yang sudah maju. 

Terkait dengan jumlah nilai ekspor produk pertanian dari Indonesia, saat ini Indonesia sedang mengalami kondisi yang kurang baik dari segi ekspor hasil produksi pertanian kita ke beberapa pasar dunia. Dari isu yang berkembang**** misalnya Amerika Serikat memberikan penalti dalam bentuk diskon/reduksi harga secara otomatis kepada produk asal Indonesia untuk komoditas-komoditas kakao, lada, udang dan jamur dengan alasan antara lain terkontaminasi serangga, salmonella, logam berat dan antibiotik. Dalam hal ini Indonesia, tidak bisa mengadukan ke komisi Sanitary and Phytosanitary Measures World Trade Organization (SPS WTO), karena faktanya AS bisa membuktikan secara ilmiah dan Indonesia memang belum bisa mengatasinya. Pemerintah Australia juga mengenakan penundaan pesanan (holding order) terhadap beberapa produk hasil pertanian dengan alasan residu logam berat dan antibiotik, food additives, kontaminasi mikro biologi dan aflatoxin serta alasan perlindungan kesehatan konsumen. Jepang menolak masuknya beberapa buah-buahan Indonesia seperti pisang dan beberapa jenis buah-buahan lainnya dengan alasan lalat buah. Indonesia tidak mengajukan protes ke komisi SPS WTO, karena kenyataannya hal tersebut memang terjadi di sini dan sejauh ini Indonesia belum mampu mengatasinya. Selain itu, Jepang juga menolak masuknya pucuk tebu asal Indonesia, dengan alasan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Untuk kasus ini, Indonesia mengadukannya ke komisi SPS-WTO, karena Indonesia dalam daftar Organization for Animal Health (OIE) merupakan salah satu negara yang dinyatakan bebas PMK. Saat ini pembahasannya sudah sampai pada sidang komite, dan harus terus diperjuangkan sampai Jepang mengakui keputusan OIE tersebut dan menotifikasikan ke Sekretariat WTO bahwa mereka mencabut larangan tersebut.

Kasus-kasus penolakan ekspor produk pertanian asal Indonesia dengan alasan technical barriers to trade (TBT) sebagian besar karena faktor labelling yang dinilai membingungkan konsumen atau tidak mengikuti standar internasional. Selain itu, ada beberapa kasus dengan alasan mutu tidak sesuai dengan kesepakatan, terutama untuk komoditas-komoditas yang diekspor ke Singapura. Untuk beberapa produk pertanian tertentu, menurunnya daya saing di pasar internasional disebabkan oleh faktor harga. Ini merupakan akibat dari tingginya inefisiensi di semua subsistem dalam rangkaian sistem agribisnisnya. Inefisiensi tersebut terjadi mulai dari pengadaan sarana produksi, budidaya, pengolahan panen dan pasca panen serta biaya transportasinya. Selain itu, sudah mulai terjadi penolakan produk-produk asal Indonesia, sebagai balasan dari kebijakan Indonesia yang kontroversial dengan ketentuan-ketentuan atau agreement dalam WTO.

Kondisi di atas harus dijadikan peluang bagi generasi-generasi penerus bangsa ini. Dari gambaran di atas juga dapat disimpulkan bahwa sektor pertanian Indonesia menjanjikan peluang pekerjaan yang luas. Pergesaran paradigma terhadap pertanian harus segera kita ubah. Pergeseran paradigma itu sebagian besar disebabkan modernisme dan serangan paham kapitalisme Barat. Di satu sisi, kapitalisme Barat memberi dampak kemajuan yang sangat pesat dalam sektor industri, teknologi komunikasi, dan perdagangan. Hampir di berbagai penjuru kota saat ini menemukan pasar-pasar kapitalis modern; entah yang berwujud megamal atau pusat-pusat pertokoan kecil. Masyarakat bisa berbelanja mudah karena semua tersedia lengkap dan menarik.
Sebelum masa depan sektor pertanian kita suram, pemerintah bersama stakeholder perlu segera mengeluarkan kebijakan dan langkah-langkah strategis. Adapun langkah-langkah strategis itu meliputi, pertama, memperbaiki citra dunia pertanian, dengan terlebih dahulu menanamkan pengertian pada generasi muda bahwa dunia pertanian tidak identik dengan kelas bawah yang kumuh dan terhina. Pertanian bukan sekadar rutinitas mencangkul dan menjadi petani tidak harus miskin. Jika dikelola secara profesional dan komersial, pertanian akan menjadi pekerjaan bergengsi, selain sebagai sektor usaha yang strategis. Kedua, kurikulum dan sistem pendidikan pada jurusan pertanian harus digeser, agar lebih adaptif dengan perkembangan teknologi. Dengan kata lain, kurikulum pertanian harus selalu gayut dengan perkembangan atau tantangan zaman. Sebagai contoh, mata kuliah budi daya pertanian tidak sekadar mempelajari bercocok tanam di lahan, tetapi juga mempelajari bagaimana mengaplikasikan teknologi modern yang canggih, perkembangan kultur jaringan (net culture), hidroponik dengan berbagai sistem, sistem teknologi molekuler hingga mempelajari rekayasa genetika.

Ketiga, pengelola Perguruan Tinggi (PT) perlu memberikan suatu insentif dan inisiatif strategis bagi jurusan pertanian. Insentif strategis bisa berupa pemberian subsidi dalam bentuk SPP lebih murah bagi bidang-bidang tersebut. Selain itu, riset-riset yang berhubungan dengan ketiga bidang itu perlu dialokasikan lebih besar dalam konteks penanggulangan global warming. Inisiatif strategis juga bisa berupa pengembangan content dan context bidang pertanian dengan mengemasnya secara lebih baik dari sisi state of the art (kemutakhiran) ilmu pengetahuan. Untuk memberikan insentif strategis, dana pemerintah sebesar 20% untuk alokasi pendidikan tentu tidak menjadi masalah. Insentif strategis lainnya; PTN di luar Jawa perlu melakukan double degree dan twinning program dengan PTN favorit di Jawa. Misalnya, kuliah tiga tahun di PTN luar Jawa dan satu tahun di PTN favorit di Jawa yang ijazah kelulusannya diakui kedua institusi pendidikan tersebut.

Pembenahan kurikulum pendidikan bidang pertanian juga harus menjadi poin utama. Sebab kurikulum merupakan jantung sekaligus pusat pendidikan. Maka kurikulum harus dirancang dengan survei dan kajian yang mendalam, tertata rapi dan adaptif dengan perkembangan dunia pertanian. Dalam pendidikan pertanian juga perlu dipelajari kiat-kiat kewirausahaan (entrepreneurship) khususnya di bidang pertanian; seperti mental produktif, kreatif, inovatif, tekun, gigih, pantang menyerah, dan menggunakan teknologi secara efektif dan efisien. Mental kewirausahaan itu menjadi penting, mengingat dunia pertanian berbeda dengan lapangan pekerjaan di bidang industri atau perkantoran. Guna menarik animo dan antusiasme masyarakat, jurusan pertanian harus selalu menjadi pionir terdepan bagi penemuan-penemuan baru di bidang pertanian. Singkatnya, fakultas pertanian harus menjadi rujukan sekaligus problem solver bagi persoalan pertanian dalam masyarakat. Untuk mewujudkan idealisme itu, perlu dibangun berbagai sarana dan fasilitas yang mempermudah mahasiswa fakultas pertanian melakukan penelitian dan pengujian. Akhirnya, pendidikan pertanian memang harus dihidupkan, demi menjaga masa depan dan ketahanan pangan kita. Upaya itu tentunya tidak cukup dengan instruksi atau ajakan, tetapi perlu gerakan dan langkah nyata antara pemerintah, dunia kampus, dan masyarakat. Pemerintah sebagai pembuat sekaligus pemegang kebijakan (policy maker), perlu membuat kebijakan yang berpihak pada pertanian, kampus harus menjadi pusat penemuan baru, sedangkan masyarakat mendukung dan mengapresiasikannya secara positif. Dengan adanya relasi dan timbal balik itu, umur pendidikan pertanian pada khususnya dan dunia pertanian pada umumnya diharapkan bisa diperpanjang.






_____________________________________________________________________
*dikutip dari artikel Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (LPPM IPB) dalam http://web.ipb.ac.id/~lppm/ID/index.php?view=warta/isinews&id=408
**Deputi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan dalam makalah berjudul Ketahanan Pangan sebagai Ketahan Budaya yang disampaikan pada Dies Natalis IPB, 30 Oktober 2008. Artikel diunduh dari http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/6385/1/Agus Pakpahan_Ketahanan Pangan sebagai Ketahanan Budaya.pdf
***dikutip dari situs Koran Kampus IPB (http://student.ipb.ac.id/~koran_kampus) dalam artikel yang berjudul Ketahanan Pangan, Antara Harapan dan Realita
****dikutip dari halaman situs Sistem Informasi Terpadu Produk Pangan Unggulan Ekspor Seafast IPB dalam artikel yang berjudul Issue Hambatan Ekspor Produk Agribisnis Indonesia, diunnduh dari http://seafast.ipb.ac.id/seafast.info/informasi%20gratis/isu-isu%20yang%20memperlemah%20daya%20saing.php




Ditulis Oleh :
Khairil Azhar dan Mahardika Gama Pradana
Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor

1 comments:

Anonim mengatakan...

pernyataan yang anda buat sebenarnya tidak beralasan saya orang IT dengan terpaksa konsern pada dunia pertanian
intinya pertanian Indonesia akan maju dengan cara
1. penerapan sistem organik pada tiap proses produksi seperti pemupukan, pengendalian hama penyakit dengan memanfaatkan musuh alami hama dan penyakit
keberadaan pemangsa tikus seperti tyto alba, ular kucing perlu dilindungi
keberadaan pemangsa burung pipit seperti burung pentet dsb
pemanfaatan anti patogen dengan memperbesar MO yang bermanfaat akan menekan jumlah patogen karena persaingan hara
2. standarisasi mutu panen
dengan mengikutkan petani pada LSO lembaga sertifikasi organik
sosialisasi grade mutu panen
3. pengolahan turunan panen dengan fabrikasi
saya yakin pertanian indonesia maju berprospek cerah ke depan

Posting Komentar