Kamis, 18 Desember 2014

Koran, riwayatmu kini. . . .

Mungkin kita punya kesamaan dalam membaca koran. Dulu sempat ketika masih tinggal bersama orangtua, koran merupakan salah satu hal yang paling dirindukan. Mas Dody, tiap di rumah pasti setiap Kamis membeli koran Bola di Vemby ponten Wonogiri. Merindukan sekali membaca Bola itu, tentu saja setelah Mas Dody selesai membacanya. Mas Rudi tetangga rumah kala itu, setiap selasa juga langganan membeli Motor Plus. Selepas itu, selama di rumah sendiri, setiap hari (weekday) Papa selalu membawa Solopos saat pulang ke rumah. Rasanya seperti janjian dengan seseorang, tetapi orang itu tak jadi datang, begitu jika Papa pulang ga bawa koran :D


Di kampus, ngobrol dengan Pak Yayi, tentang benda-benda yang akan terganti dan tidak akan terganti. Saat itu kertas masih menjadi perdebatan, namun koran cetak mungkin bisa tergantikan oleh koran online. Sekarang pun sudah terasa. Lihat saja ada berapa tukang koran dipinggir jalan atau tempat umum yang stay menggelar koran-korannya? Tempo hari pulang ke Sragen, tukang koran si kembar (langganan sewaktu SMP) samping BPD berubah jadi parkiran swalayan Mitra? Kemana mereka? Cuma di tempat tertentu saja, dua tahun yang lalu di peron stasiun Cawang masih ada. Sekarang peron stasiun netral dari pedagang.

Koran online pun sepertinya belum pantas menggantikan koran cetak. Lihat saja redaksi penulisannya. Bahkan suka mengacau. Kata Pak Yayi, wartawan koran online itu tak lebih dari wartawan Blacberry -punten nih Blacberry, cuma metafora saja kok brur :) Dan koran, duh. . . riwayatmu kini. Koran online mengancam, membuat orang buta, malas membaca. Seharusnya judul di Koran online diganti dengan isi saja, jadi judulnya tiga paragraf, isinya satu baris. Agar orang tidak mudah nyeletuk cuma melihat judul berita. Bacalah isi koran mu! dan tentu saja al-Qur'an mu bagi yang muslim :)

0 comments:

Posting Komentar